Minggu, 30 Oktober 2016

[TUGAS] Analisis Semiotika Motif Batik Khas Majalengka


ANALISIS SEMIOTIKA MOTIF BATIK KHAS MAJALENGKA
Della Cecilia VS

ABSTRACT
This paper would like to discuss that batik as system of sign which is attended visually based on its function and meaning. The scope of research on batik originated from Majalengka. This research analyzed with Peirce’s triadic semiotic approach with a sign that has an icon, index, and symbol. Analysis a sign motif of batik is related to with an icon in the form of cloth and the function of the cloth, and the index element in the form of color motifs of batik. Symbol is always related to with the naming of batik, such as Kota Angin, Lauk Ngibing, Gedong Gincu, Nyi Rambut Kasih, and Simbar Kencana. By using qualitiative methodology, this paper writes about how the semiotic concept can be used on motifs of batik in Majalengka.

Keywords: Batik, motif, semiotics, Majalengka
ABSTRAK
Makalah ini mendiskusikan bahwa batik sebagai sebuah sistem tanda yang menjelma lewat indra penglihatan berdasarkan fungsi dan maknanya. Lingkup riset berasal dari batik yang berasal dari Majalengka. Riset ini dianalisis dengan pendekatan semiotic Peirce triadik yang terkait dengan tanda yang memiliki ikon, indeks, dan simbol. Analisis tanda motif batik terkait dengan ikon berupa kain dan fungsi dari kain, dan elemen indeks terkait dengan warna dari motif batik. Simbol selalu terkait dengan pemberian nama dari motif batik, seperti motif Kota Angin, motif Lauk Ngibing, motif Gedong Gincu, motif Nyi Rambut Kasih, dan motif Simbar Kencana.Dengan menggunakan metode kualitatif, makalah ini menulis tentang bagaimana konsep semiotic digunakan dalam menganalisis motif-motif batik di Majalengka.
Kata Kunci: Batiki, motif, semiotik, Majalengka








PENDAHULUAN
A.     Latar Belakang
Ki Hajar Dewantara mendefinisikan budaya sebagai sebuah kata yang berasal dari budi ‘jiwa manusia yang telah masak; cerdas’. Artinya bahwa budaya adalah  sebagai hasil cipta, rasa, dan karsa manusia. Melalui budaya, manusia dapat  menciptakan hal-hal baru seperti halnya batik tulis. Musmanmenyatakan, “Kegiatan membatik pada dasarnya sudah ada sejak abad XVIII atau awal  abad XIX”(Musman 3). Batik selain digunakan untuk kain dan pakaian juga memiliki makna secara  tersirat. Hal yang dimaksud yaitu adanya estetika serta makna simbolik yang terdapat pada motif batik. Motif atau corak batik memiliki beragam jenis dan tingkat kerumitan yang berbeda-beda. Motif yang dibuat oleh pembatik mempunyai maksud dan tujuan tersendiri, tergantung dari motif yang dibuat.
Batik menjadi salah satu kerajinan yang memiliki nilai seni yang tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia. Batik berasal dari bahasa Jawa “amba” yang berarti menulis dan titik(Wahyu 4). Batik berarti gambar yang ditulis pada kain dengan mempergunakan malam sebagai media sekaligus penutup kain batik.
Batik bukan sekedar lukisan yang dituliskan pada kain dengan menggunakan canting. Sebab, motif yang dituliskan pada selembar kain batik selalu mempunyai makna tersembunyi. Tidak hanya motif yang memiliki makna didalamnya, melainkan bentuk dan warna juga mempunyai makna tersendiri yang ingin disampaikan melalui kain batik. Selain itu, perkembangan motif batik dipengaruhi oleh ilham alam sekitar daerah produsen batik tersebut.
Sebagai warisan budaya di masa lalu dan masih tetap eksis hingga kini, batik dapat memberikan beragam nilai seperti nilai fungsional, nilai budaya, dan nilai ekonomi pada kehidupan masyarakat yang mengalami tantangan globalisasi. Seperti yang diketahui dengan adanya pengakuan dunia dari UNESCO, 2 Oktober 2009, bahwa batik merupakan “warisan budaya manusia tak benda” milik bangsa Indonesia, maka timbul berbagai dampak positif bagi eksistensi batik. Tumbuhnya peluang baru bagi usaha batik di bidang industri kerajinan batik di berbagai daerah dengan mengangkat kearifan lokal yang berasal dari etnik yang ada di Indonesia dalam bentuk motif telah mengangkat batik sebagai “seni batik” yang indah, unik, dan memiliki makna serta nilai filosofis yang tinggi. Nilai positif lainnya adalah kecintaan akan batik pada masyarakat menjadi lebih meningkat. Batik tidak hanya dipakai pada upacara atau ritual adat Jawa atau Sunda saja, melainkan orang menggunakannya dalam berbagai peristiwa yang dianggapnya penting (pertemuan para pejabat tinggi, seminar internasional dan nasional, rapat penting dalam suatu institusi) atau menjadi semacam “identitas” suatu institusi, lembaga, sekolah yang memiliki seragam batik dengan motif atau desain dengan logo tertentu.
Banyak jenis dan ragam bentuk desain batik di Indonesia yang berkembang hingga dewasa ini. Batik Majalengka adalah salah satu aset karya budaya bangsa yang terdapat di wilayah Timur Jawa bagian Barat. Batik Majalengka memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri baik pada segi bentuk stilisasi ornamennya maupun pada pewarnaannya. Batik Majalengka memiliki corak yang sangat beragam akan jenis motifnya. Di antaranya, motif batik Kota Angin bersumber dari julukan Majalengka sebagai “Kota Angin” karena angin kencang yang selalu berhembus di kota ini sepanjang tahunnya. Motif Kota Angin ini nampak lebih gagah dan maskulin.
Dapat dipahami bahwa penciptaan karya tersebut didasari oleh konsep dan tema dari motif itu sendiri sebagai unsure bentuk visual yang sesuai dengan fungsi dan maknanya. Seperti misalnya motif batik Simbar Kencana Majalengka. Karya kriya batik tersebut memungkinkan mempunyai denotasi dan fungsinya, yakni dalam hal ini kain sebagai busana, lukisan ataupun elemen dekorasi interior. Kain batik tradisional Majalengka, di samping mempunyai denotasi tentunya juga mempunyai konotasi, misalnya material bahan, teknik (proses pembuatan) dan bentuk visual batik itu sendiri. Dari karakternya, bagus atau jelek baik dari hasil garapannya, maupun serasi atau tidak serasi dari hal pemakaian dan paduannya; serta memiliki simbol dan ikon daerah atau tidak.
Dengan adanya pengaruh perkembangan budaya, motif batik Majalengka semakin banyak variasinya, baik pada penggayaaan atau stilisasi motif dasar dan pengembangannya. Dari keunikan dan keragaman corak batik tersebut maka banyak pulalah tanda-tanda yang dimilikinya. Dilihat dari sistem tanda, batik Majalengka kaya akan makna semantic maupun makna simboliknya.
Persoalan bentuk dan desain motif batik tentunya tidak terlepas dari gramatika, dan sintaksis untuk menggambarkan tanda-tanda, serta hubungan dan keterkaitan antar unsur-unsur motif pendukungnya. Seperti denotasi berkaitan dengan apa arti motif; struktur desain motif, pragmatik melukiskan motif yang menggerakkan motivasi kreatif para desainer serta pengaruh wujud visual motif batik tersebut terhadap apresiator dan pengguna.
Di samping bentuk motif pada kain batik Majalengka, juga unsur bahan dan teknik, tentunya sangat menentukan sikap dan reaksi-reaksi intelektual serta emosional manusia sebagai pelaku budaya, khususnya emosi manusia sebagai desainer, pembatik, maupun pengguna kain batik tersebut. Disadari ataupun tidak, motif batik tradisional tersebut memungkinkan pula adanya keterkaitan prilaku sosial maupun individual dengan apa yang telah diciptakan para desainer tentang arti yang telah para desainer atau pembatik berikan terhadap corak batik tersebut.
Terkait dengan persoalan tanda, sebuah kain batik motif tradisional Majalengka, di dalamnya memiliki beraneka sistem tanda yang sebagian besar menjelma lewat indra penglihatan seperti: bentuk motif dan susunan dari unsur-unsur pembentuknya, ukuran, material-bahan, warna, komposisi jarak/skala dan proporsi masing-masing unsurnya.
Denotasi primer kain batik tersebut yang dianggap sebagai tanda adalah fungsi objek tersebut, dan sebagai denotasi sekundernya (konotasi) adalah pakem (konvensionalitas); struktur bentuk dan cara pembuatan, keaslian, keakraban tema, keserasian dalam pemakaian, suasana mengesankan, megah, anggun, wibawa dan lain sebagainya. Pengamatan akan tanda-tanda tersebut akan menghubungkan tanda-tanda tersebut dengan suatu ideologi dan membuat interpretasi secara luas. Namun interpretasi tersebut terkadang terjadi berlawanan dengan ideologi diri sendiri, sehingga bersifat subjektif. Dengan demikian resepsi semiotika dapat menimbulkan cocok tidak cocok bagi seseorang dengan orang lainnya tergantung pada apa yang dibangun oleh tema dan bentuk motif yang ditampilkan itu telah ia tanam sebagai tanda-tanda.
Berkat hadirnya aneka ragam motif yang hanya bersifat menghias secara visual, terbentuklah kekhasan motif batik. Adanya unsur lain seperti makna simbolik dan atau makna filosofis dapat berfungsi sebagai unsur tanda-tanda yang dapat diinterpretasikan berdasarkan kepentingannya. Tanda-tanda tersebut seakan-akan menyampaikan pesan bahwa motif tersebut tidak hanya diwujudkan berdasarkan fungsi dan kepentingannya, tetapi juga melalui sentuhan-sentuhan spirit keindahan dan filosofis yang mendasari jiwa para pembatiknya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat ditemukan tentang apa yang menjadi permasalahan dalam batik berkait dengan tinjauan semiotik, khususnya dalam hal yang berkaitan dengan wujud visual motif batik tradisional Majalengka.

B.     Rumusan Masalah
Bagaimanakah sistem-sistem tanda dan relasi tanda yang dibangun dalam suatu karya batik tradisional dan adakah indikasi tanda yang mengarah pada sebuah ikon, indeks dan simbol sesuai dengan teori Semiotik Charles de Pierce?

C.     Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan dilakukan penelitian ini secara khusus adalah untuk mengetahui bagaimana makna yang terdapat dalam motif batik Majalengka. Sedangkan tujuan secara umum adalah untuk mengetahui bagaimana konsep-konsep semiotika diterapkan dalam bidang seni dan kehidupan budaya masyarakat di Majalengka. Tulisan ini dipandang penting dengan tujuan memperkaya khasanah keilmuan seni batik pada khususnya, relevansinya dengan pengembangan pengetahuan struktur pada pemahaman aspek kajian semiotik terhadap motif hias tradisional Batik Majalengka.

D.    Metode Penelitian dan Penulisan
Jenis penelitian ini yaitu penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif deskriptif adalah pengumpulan data yang berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka(Moleong 11). Fokus penelitian pada motif batik Majalengka. Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini yaitu hasil wawancara dengan informan yang mengetahui tentang motif batik Majalengka, buku-buku, dan internet. Data dalam penelitian ini yaitu dokumentasi berupa foto-foto. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik wawancara semiterstruktur dan analisis dokumen. Penelitian ini menggunakan metode analisis semiotika untuk mengungkap makna yang ada dalam objek kajian peneliti yaitu Batik Majalengka. Unit analisis yang akan diteliti adalah arti/makna yang muncul dalam motif yang terdapat dalam batik-batik tersebut.
KERANGKA TEORI
Batik
Batik adalah kerajinan yang mengandung filosofi, memiliki karakter dan nilai seni, serta menjadi bagian dari budaya Indonesia sejak lama. Sebagai ikon budaya, batik merupakan local genius yang mengandung nilai sejarah yang sangat tinggi (Atmojo 6).
Batik adalah sejenis kain tertentu yang dibuat khusus dengan motif-motif yang khas, yang langsung dikenali masyarakat umum (Wulandari 23). Batik merupakan kerajinan yang memiliki nilai seni yang tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama.

Komponen Batik
Wulandari mengemukakan bahwa batik memiliki dua komponen utama, yaitu warna dan garis(Wulandari 76). Kedua komponen inilah yang membentuk batik menjadi tampilan kain yang indah dan menawan.


1.      Garis
Wulandari mengemukakan garis adalah suatu hasil goresan di atas permukaan benda atau bidang gambar(Wulandari 81). Garis-garis inilah yang menjadi panduan dalam penggambaran pola dalam membatik. Menurut bentuknya, garis dapat dibedakan sebagai berikut:
a.       Garis lurus (tegak lurus, horizontal dan condong)
b.      Garis lengkung
c.       Garis putus-putus
d.      Garis gelombang
e.       Garis zig-zag
f.        Garis imajinatif
Garis-garis inilah yang membentuk corak dan motif batik sehingga menjadi gambar-gambar yang indah sesuai dengan yang diharapkan. Tanpa garis-garis yang menjadi panduan ini, tidaklah mungkin terbentuk pola-pola batik yang sesuai. Garis-garis tersebut akan dibentuk dan dikreasikan sesuai dengan motif yang diinginkan.

2.      Warna
Warna merupakan media penyampai pesan, sebagaimana bentuk dan tulisan. Secara naluriah, manusia menggunakan dan mempersepsikan warna dengan suatu konsep. Dalam penyampaian pesan warna dapat memperkuat nilai pesan yang ingin disampaikan melalui batik. Warna adalah spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna (berwarna putih)(Wulandari 76). Setiap warna mampu memberikan kesan dan identitas tertentu sesuai kondisi sosial pengamatnya. Masyarakat penganut warna memiliki pandangan dan pemikiran yang berbeda-beda terhadap warna. Ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, pandangan hidup, status sosial dan lain-lain. Pemikiran atau persepsi terhadap warna sering pula dipengaruhi oleh kondisi emosional dan psikis seseorang.

Motif Batik
Motif batik adalah suatu dasar atau pokok dari suatu pola gambar yang merupakan pangkal atau pusat suatu rancangan gambar, sehingga makna dari tanda, simbol, atau lambang dibalik motif batik tersebut dapat diungkap (Wulandari 113)
Menurut Susanto Sewan(Sewan 212) motif adalah kerangka gambar yang mewujudkan batik secara keseluruhan. Motif batik disebut juga corak batik atau pola batik. Motif batik dalam Kamus Bahasa Indonesia diartikan suatu gambaran yang menjadi pokok. Dari pendapat diatas, penulis menyimpulkan bahwa motif batik merupakan gambar hias yang terdapat pada sehelai kain batik.

Semiotika
Semiotika berasal dari kata Yunani “Semion” atau tanda, kerap diartikan sebagai ilmu tanda. Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang menggunakannya.
Menurut Preminger, ilmu ini menganggap bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda. Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tradisi semiotika ini lebih memusatkan perhatian pada lambang-lambang dan simbol-simbol, serta memandang komunikasi sebagai suatu jembatan antara dunia pribadi individu-individu (misalnya seniman, aktor, atau politikus) dengan ruang di mana lambang-lambang digunakan oleh individu-individu untuk mengangkut makna-makna tertentu kepada khalayak atau publik.

Model Charles Sanders Peirce
Studi mengenai tanda dan cara kerja dari tanda-tanda tersebut dinamakan semiotika atau semiologi. Objek utama dalam pendekatan ilmu ini adalah teks, yang tak hanya berbentuk teks tertulis, akan tetapi dapat berupa gambar, pakaian, motif atau corak, lukisan dan lain sebagainya.
Gambar sebagai suatu sistem tanda yang merupakan bentuk fisik yang berbentuk serta mengacu pada apa yang akan dirujuknya. Pendekatan semiotika bermula dari tiga elemen dasar yaitu tanda, acuan tanda dan pengguna tanda.
Pierce mengemukakan teori segitiga makna atau triangle meaning yang terdiri dari 3 elemen utama, yakni tanda (sign), objek, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (mempresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Pierce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau sesuatu yang dirujuk tanda.Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk suatu tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda digunakan orang saat berkomunikasi.
Yang dikupas teori segitiga, maka adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu digunakan orang pada waktu berkomunikasi. Hubungan antara tanda, objek dan interpretan digambarkan Peirce sebagai berikut:
Hubungan Tanda, Objek, dan Interpretant (Triangle of Meaning)
                 Sign
 






Interpretant            Object

Peirce membedakan tipe-tipe tanda menjadi: Ikon (Icon), Indeks (Indeks), dan Simbol (Symbol) yang didasarkan atas relasi di antara representamen dan objeknya.
Ikon adalah tanda yang mengandung kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda itu mudah dikenali oleh pemakainya. Di dalam ikon hubungan antara representamen dan objeknya terwujud sebagai kesamaan dalam berbagai kualitas. Contohnya sebagian besar rambu lalu lintas merupakan tanda yang ikonik karena ‘menggambarkan’ bentuk yang memiliki kesamaan dengan objek sebenarnya.
Indeks adalah tanda yang memiliki keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan objeknya. Di dalam indeks, hubungan antara tanda dengan objeknya bersifat kongkret, aktual dan biasanya melalui suatu cara yang sekuensial atau kausal. Contoh jejak telapak kaki di atas permukaan tanah, misalnya merupakan indeks dari seseorang atau binatang telah lewat di sana, ketukan pintu merupakan indeks dari kehadiran seorang ‘tamu’ di rumah kita.
Simbol, merupakan jenis tanda yang bersifat arbiter dan konvensional sesuai kesepakatan atau konvensi sejumlah orang atau masyarakat. Tanda-tanda kebahasaan pada umumnya adalah simbol-simbol. Contohnya Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung yang memiliki latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya Garuda Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa.

PEMBAHASAN
Ciri khas pakaian bangsa Indonesia yakni batik telah mendapat pengakuan dunia Internasional, kini batik tidak hanya dimiliki oleh Cirebon, Pekalongan, Solo, dan Jogja, namun hampir semua kabupaten/kota di Indonesia termasuk di Jawa Barat memiliki motif batik khas tersendiri seperti halnya Kabupaten Majalengka. Kota kecil di timur Jawa Barat; Majalengka-pun memiliki batik tersendiri. Meski belum seterkenal tetangganya yakni batik trusmi Cirebon, batik Majalengka memiliki keunikan tersendiri sesuai dengan kekhasan jatidiri dan asli menggambarkan ciri Kabupaten Majalengka. Batik Majalengka ini dipelopori oleh Hery Soeharsono. Dalam mendesain batik khas Majalengka, Hery tak luput memasukkan kekhasan-kekhasan dari kota Majalengka. Secara umum batik Majalengka memiliki lima motif utama, yaitu Kota Angin, Lauk Ngibing, Gedong Gincu, Nyi Rambut Kasih, dan Simbar Kencana. 
Makna-makna Semiotika Batik Majalengka
Berdasarkan teori segitiga makna (triangle meaning) yang dikemukakan oleh Pierce, bahwa ada tiga elemen utama dalam makna, yakni tanda (sign), objek, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk (mempresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Pierce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik), dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan sebab-akibat).
Pada setiap motif batik Majalengka menonjolkan kekhasan dan ciri jatidiri kabupaten Majalengka terinspirasi pada keadaan alam seperti hewan dan tumbuhan, artefak-artefak sejarah, kultur, potensi daerah, serta cerita rakyat ataupun legenda yang hidup di kalangan masyarakat Majalengka. Semua hal itu tertuang dalam motif batik yang menggambarkan budaya lokal Majalengka.
Dalam batik khas Majalengka tanda yang paling menonjol dalam menggambarkan karakter kabupaten Majalengka ditunjukkan melalui gambar kujang, mahkota, dan buah maja. Dengan menggunakan lambang kujang penggambaran kabupaten Majalengka terlihat jelas. Hal ini dikarenakan kujang menjadi ciri bahwa kabupaten Majalengka berada di tanah Pasundan. Kujang merupakan lambang dari kerajaan Padjajaran serta merupakan senjata tradisional Jawa Barat. Pada waktu itu kerajaan Sindangkasih memiliki hubungan erat dengan kerajaan Padjajaran, dimana putra mahkota kerajaan Padjajaran mempersunting putri dari kerajaan Sindangkasih. Mahkota sendiri merupakan mahkota Simbar Kencana yang dikenakan ratu dari kerajaan Sindangkasih yang bernama Ratu Simbar Kencana. Sementara buah Maja merupakan salah satu buah yang menjadi kekhasan kerajaan Sindangkasih, buahnya berbentuk bulat berwarna oranye seperti buah mangga yang sekarang dijadikan sebagai nama Kabupaten Majalengka.
Analisis semiotik pada batik Majalengka memiliki tanda yang mengacu pada ikon, indeks dan simbol. Tanda pada batik Majalengka adalah ragam hias atau corak batik yang khas dan bersifat kontemporer. Ragam hias tersebut merupakan perpaduan, kreatifitas dan ide pengembangan motif dari Bapak Herry antara motif/ragam hias gaya Cirebon dan Sunda/Jawa Barat. Ikon batik Majalengka mengacu pada jenis kain yang akan melalui proses pembatikan, berupa kain sutra, kain primisima, kain primis. Tidak ada pembeda kelas sosial mengenai jenis kain batik yang dipakai, semuanya sama rata. Begitupun dengan motif batik yang dipakai, tidak ada pembeda kelas sosial, semua orang boleh menggunakan motif batik Majalengka yakni motif Kota Angin, motif Lauk Ngibing, motif Gedong Gincu, motif Nyi Rambut Kasih, dan motif Simbar Kencana. Selain itu, ikon mengacu pada fungsi kain batik. Penggunaan batik sebagai busana tradisional semakin berkurang, terutama di kalangan generasi muda. Makna simbolik yang ada pada ragam hias batik tradisional juga makin kurang dikenal. Akan tetapi, dengan berbagai kreasi dan inovasi pada motif batik Majalengka, kini batik telah menjadi pakaian umum. Motif dan desainnya pun semakin berkembang pesat sehingga generasi muda merasa nyaman dan senang menggunakan busana batik. Banyak desainer muda di kabupaten Majalengka yang memulai kiprah desain bajunya dengan mengambil batik sebagai inspirasi pembuatan desain baju. Kreatifitas para desainer muda ini banyak melahirkan beragam desain baju batik yang sangat elegan dan memenuhi tuntutan gaya hidup modern.
Busana atau pakaian merupakan ekspresi dari identitas seseorang karena saat kita memilih pakaian, baik di toko atau di rumah, berarti kita mendefinisikan dan mendeskripsikan diri sendiri. Arti penting berpakaian sebagai suatu ekspresi dari identitas social, asal usul, komitmen dan kesetiaan individu, tidaklah mengherankan bahwa orang-orang seharusnya memandang pakaian hampir seperti perpanjangan diri mereka sendiri. Singkatnya, sekarang dapat kita mengerti mengapa hubungan seseorang dengan pakaiannya bersifat langsung dan lebih akrab daripada hubungannya dengan semua objek materi yang lain. Mari S. Condronegoro menyatakan bahwa berbagai symbol yang tercermin dari pakaian merupakan alat komunikasi yang memberikan arti bagi masing-masing pribadi. Dengan demikian, dapat kita katakan bahwa pakaian memberikan penggambaran bagi pemakainya. Pakaian menunjukkan indentitas pemakainya. Demikian pula dengan motif batik di Majalengka.
Yang termasuk indeks batik Majalengka tertuju pada warna yang muncul, umumnya sangat beragam dan menggunakan warna-warna yang cerah, seperti merah, hijau, biru,dan percampuran antara warna dasar, dan akhirnya menghasilkan warna kontemporer atau warna yang digemari oleh konsumen. Proses pewarnaan menggunakan pewarna tekstil. Begitu juga dengan teknik pencelupan dalam pewarnaan yang dikenal dengan “buka tutup” dan ditutup dengan lilin dikembangkan demi pengembangan motif atau ragam hias yang sangat beraneka dan lentur dalam menghadapi tantangan zaman.
Warna merah pada motif Simbar Kencana dan motif Gedong Gincu diartikan sebagai warna yang dapat menarik perhatian karena warna merah mempunyai nilai dan kekuatan warna yang paling kuat sehingga dapat memberikan daya tarik yang sangat kuat untuk menarik perhatian orang yang melihatnya. Warna ini juga disenangi banyak orang terutama oleh anak-anak dan wanita. Selain, dapat menarik perhatian warna merah juga dilambangkan sebagai warna kegembiraan dan keberanian. Warna biru pada motif Kota Angin dan motif Nyi Rambut Kasih diartikan sebagai rasa ketenangan, kelembutan, keikhlasan dan rasa kesetiaan biasanya dapat ditunjukkan melalui pemakaian warna ini. Warna hijau pada motif Lauk Ngibing diartikan sebagai rasa kedamaian dan kesuburan.

Yang termasuk simbol dalam batik khas Majalengka adalah sebagai berikut.
Batik Majalengka Motif Angin
Motif Kota Angin
Motif Kota Angin bersumber dari julukan Majalengka sebagai Kota Angin, karena angin kencang yang selalu berhembus di kota ini sepanjang tahunnya. Motif Kota Angin, nampak lebih gagah dan maskulin.
Batik Majalengka Motif Lauk Ngibing  Motif Lauk Ngibing
Motif Lauk Ngibing mengandung arti lauk itu ikan dan ngibing itu menari, dalam bahasa Sunda berarti ikan menari. Motif ini menunjukkan jika warga Majalengka senang memelihara ikan di balong atau empang.

Batik Majalengka Motif Mangga Gedong GincuMotif Gedong Gincu
Motif Mangga Gedong Gincu diambil dari banyaknya pohon mangga gincu yang hampir ditemui di tiap halaman rumah warga Majalengka. Itulah mengapa Gedong Gincu juga dinamakan menjadi salah motif batik khas Majalengka.

Batik Majalengka Motif Simbar KencanaMotif Nyi Rambut Kasih
Nyi Rambut Kasih adalah salah satu tokoh sejarah cerita rakyat di Kabupaten Majalengka. Pada batik motif Nyi Rambut Kasih melambangkan keuletan, kesabaran dan kesadaran masyarakat dan pemerintah Majalengka, dalam bahu-membahu bersama-sama untuk membangun daerah, dengan landasan hati tulus – iklas, penuh dengan rasa tanggung  jawab, didukung dengan rasa solidaritas yang tinggi, rasa cinta kasih yang dalam, selaras dan berkesinambungan (tanpa diskriminasi serta interversi). Digambarkan dengan motif; seorang wanita berparas cantik, tegar dan segar, dengan rambut panjang yang menjalar ke berbagai arah, dihiasi oleh taburan bunga melati dengan disisipkan 3 (tiga) simbol daun cinta.
Batik Majalengka Motif Simbar Kencana
Motif Simbar Kencana
Simbar Kencana merupakan cerita rakyat di kabupaten Majalengka, tepatnya berasal dari Kecamatan Talaga atau dulunya dikenal sebagai Kerajaan Talaga Manggung. Simbar Kencana merupakan nama Ratu yang memimpin kerajaan Talaga Manggung atau Sindangkasih.

Sesuai dengan konsep ikon pada trikotomi Pierce, kesesuaian bentuk dan nama yang digunakan dapat dilihat langsung (secara visual).


SIMPULAN

Berdasarkan hasil analisis dengan pendekatan semiotika terhadap tanda-tanda dalam batik khas Majalengka, maka dapat ditarik keseimpulan sebagai berikut:
Tanda-tanda dalam motif batik Majalengka merupakan sejumlah tanda yang mengandung unsur relationship sebagai konsep cerita dalam Batik Majalengka, dimana konsep tersebut menggambarkan karakter kabupaten Majalengka. Melalui konsep yang saling berhubungan tersebut karakter kabupaten Majalengka terlihat sangat menarik, dengan penggunaan beberapa ikon dari kabupaten Majalengka yaitu, kujang, mahkota, dan buah maja. Batik Majalengka secara keseluruhan telah menunjukkan karakter dan jati diri kabupaten Majalengka. Dengan mengemas beberapa motif yang diambil dari ikon kota maupun ikon budaya kabupaten Majalengka secara berkesinambungan menghasilkan sebuah batik daerah yang dapat menjadi salah satu ikon budaya maupun identitas kabupaten Majalengka itu sendiri.



















DAFTAR PUSTAKA
Atmojo, Heriyanto. Batik Tulis Tradisional Kauman, Solo, Pesona Budaya Nan Eksotik. Solo: Tiga Serangkai, 2008.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Ofset, 2011.
Musman, Ambar B. Batik Warisan Adiluhung Nusantara. Yogyakarta: G-Media, 2011.
Sewan, Susanto S. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, 1980.
Wahyu, A. Chick in Batik. Jakarta: Erlangga, 2012.
Wulandari, Ari. Batik Nusantara Makna Filosofis, Cara Pembuatan, dan Industri Batik. Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2011.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar