ANALISIS SEMIOTIKA
MOTIF BATIK KHAS MAJALENGKA
Della Cecilia VS
ABSTRACT
This paper would
like to discuss that batik as system of sign which is attended visually based
on its function and meaning. The scope of research on batik originated from
Majalengka. This research analyzed with Peirce’s triadic semiotic approach with
a sign that has an icon, index, and symbol. Analysis a sign motif of batik is
related to with an icon in the form of cloth and the function of the cloth, and
the index element in the form of color motifs of batik. Symbol is always
related to with the naming of batik, such as Kota Angin, Lauk Ngibing, Gedong
Gincu, Nyi Rambut Kasih, and Simbar Kencana. By using qualitiative methodology, this paper writes about how the
semiotic concept can be used on motifs of batik in Majalengka.
Keywords: Batik, motif, semiotics, Majalengka
ABSTRAK
Makalah ini mendiskusikan bahwa batik sebagai sebuah
sistem tanda yang menjelma lewat indra penglihatan berdasarkan fungsi dan
maknanya. Lingkup riset berasal dari batik yang berasal dari Majalengka. Riset
ini dianalisis dengan pendekatan semiotic Peirce triadik yang terkait dengan
tanda yang memiliki ikon, indeks, dan simbol. Analisis tanda motif batik terkait
dengan ikon berupa kain dan fungsi dari kain, dan elemen indeks terkait dengan warna
dari motif batik. Simbol selalu terkait dengan pemberian nama dari motif batik,
seperti motif Kota Angin, motif Lauk Ngibing, motif Gedong Gincu, motif Nyi
Rambut Kasih, dan motif Simbar Kencana.Dengan menggunakan metode kualitatif,
makalah ini menulis tentang bagaimana konsep semiotic digunakan dalam
menganalisis motif-motif batik di Majalengka.
Kata Kunci: Batiki, motif, semiotik, Majalengka
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Ki Hajar Dewantara mendefinisikan budaya sebagai sebuah
kata yang berasal dari budi ‘jiwa manusia yang telah masak; cerdas’. Artinya
bahwa budaya adalah sebagai hasil cipta,
rasa, dan karsa manusia. Melalui budaya, manusia dapat menciptakan hal-hal baru seperti halnya batik
tulis. Musmanmenyatakan, “Kegiatan membatik pada dasarnya sudah ada sejak abad
XVIII atau awal abad XIX”(Musman 3) . Batik selain
digunakan untuk kain dan pakaian juga memiliki makna secara tersirat. Hal yang dimaksud yaitu adanya
estetika serta makna simbolik yang terdapat pada motif batik. Motif atau corak
batik memiliki beragam jenis dan tingkat kerumitan yang berbeda-beda. Motif
yang dibuat oleh pembatik mempunyai maksud dan tujuan tersendiri, tergantung
dari motif yang dibuat.
Batik menjadi salah satu kerajinan yang memiliki nilai
seni yang tinggi dan telah menjadi bagian dari budaya Indonesia. Batik berasal
dari bahasa Jawa “amba” yang
berarti menulis dan titik(Wahyu 4) . Batik berarti
gambar yang ditulis pada kain dengan mempergunakan malam sebagai media
sekaligus penutup kain batik.
Batik bukan sekedar lukisan yang dituliskan pada kain
dengan menggunakan canting. Sebab, motif yang dituliskan pada selembar kain
batik selalu mempunyai makna tersembunyi. Tidak hanya motif yang memiliki makna
didalamnya, melainkan bentuk dan warna juga mempunyai makna tersendiri yang
ingin disampaikan melalui kain batik. Selain itu, perkembangan motif batik
dipengaruhi oleh ilham alam sekitar daerah produsen batik tersebut.
Sebagai warisan budaya di masa lalu dan masih tetap eksis
hingga kini, batik dapat memberikan beragam nilai seperti nilai fungsional,
nilai budaya, dan nilai ekonomi pada kehidupan masyarakat yang mengalami
tantangan globalisasi. Seperti yang diketahui dengan adanya pengakuan dunia
dari UNESCO, 2 Oktober 2009, bahwa batik merupakan “warisan budaya manusia tak
benda” milik bangsa Indonesia, maka timbul berbagai dampak positif bagi
eksistensi batik. Tumbuhnya peluang baru bagi usaha batik di bidang industri
kerajinan batik di berbagai daerah dengan mengangkat kearifan lokal yang
berasal dari etnik yang ada di Indonesia dalam bentuk motif telah mengangkat
batik sebagai “seni batik” yang indah, unik, dan memiliki makna serta nilai
filosofis yang tinggi. Nilai positif lainnya adalah kecintaan akan batik pada
masyarakat menjadi lebih meningkat. Batik tidak hanya dipakai pada upacara atau
ritual adat Jawa atau Sunda saja, melainkan orang menggunakannya dalam berbagai
peristiwa yang dianggapnya penting (pertemuan para pejabat tinggi, seminar
internasional dan nasional, rapat penting dalam suatu institusi) atau menjadi
semacam “identitas” suatu institusi, lembaga, sekolah yang memiliki seragam
batik dengan motif atau desain dengan logo tertentu.
Banyak jenis dan ragam bentuk desain batik di Indonesia
yang berkembang hingga dewasa ini. Batik Majalengka adalah salah satu aset
karya budaya bangsa yang terdapat di wilayah Timur Jawa bagian Barat. Batik
Majalengka memiliki keunikan dan kekhasan tersendiri baik pada segi bentuk
stilisasi ornamennya maupun pada pewarnaannya. Batik Majalengka memiliki corak
yang sangat beragam akan jenis motifnya. Di antaranya, motif batik Kota Angin bersumber dari julukan Majalengka
sebagai “Kota Angin” karena angin kencang yang selalu berhembus di kota ini
sepanjang tahunnya. Motif Kota Angin ini nampak lebih gagah dan maskulin.
Dapat dipahami bahwa penciptaan karya tersebut didasari
oleh konsep dan tema dari motif itu sendiri sebagai unsure bentuk visual yang
sesuai dengan fungsi dan maknanya. Seperti misalnya motif batik Simbar Kencana Majalengka. Karya
kriya batik tersebut memungkinkan mempunyai denotasi dan fungsinya, yakni dalam
hal ini kain sebagai busana, lukisan ataupun elemen dekorasi interior. Kain
batik tradisional Majalengka, di samping mempunyai denotasi tentunya juga
mempunyai konotasi, misalnya material bahan, teknik (proses pembuatan) dan
bentuk visual batik itu sendiri. Dari karakternya, bagus atau jelek baik dari
hasil garapannya, maupun serasi atau tidak serasi dari hal pemakaian dan
paduannya; serta memiliki simbol dan ikon daerah atau tidak.
Dengan adanya pengaruh perkembangan budaya, motif batik
Majalengka semakin banyak variasinya, baik pada penggayaaan atau stilisasi
motif dasar dan pengembangannya. Dari keunikan dan keragaman corak batik
tersebut maka banyak pulalah tanda-tanda yang dimilikinya. Dilihat dari sistem
tanda, batik Majalengka kaya akan makna semantic maupun makna simboliknya.
Persoalan bentuk dan desain motif batik tentunya tidak
terlepas dari gramatika, dan sintaksis untuk menggambarkan tanda-tanda, serta
hubungan dan keterkaitan antar unsur-unsur motif pendukungnya. Seperti denotasi
berkaitan dengan apa arti motif; struktur desain motif, pragmatik melukiskan
motif yang menggerakkan motivasi kreatif para desainer serta pengaruh wujud
visual motif batik tersebut terhadap apresiator dan pengguna.
Di samping bentuk motif pada kain batik Majalengka, juga
unsur bahan dan teknik, tentunya sangat menentukan sikap dan reaksi-reaksi
intelektual serta emosional manusia sebagai pelaku budaya, khususnya emosi
manusia sebagai desainer, pembatik, maupun pengguna kain batik tersebut.
Disadari ataupun tidak, motif batik tradisional tersebut memungkinkan pula
adanya keterkaitan prilaku sosial maupun individual dengan apa yang telah
diciptakan para desainer tentang arti yang telah para desainer atau pembatik
berikan terhadap corak batik tersebut.
Terkait dengan persoalan tanda, sebuah kain batik motif
tradisional Majalengka, di dalamnya memiliki beraneka sistem tanda yang
sebagian besar menjelma lewat indra penglihatan seperti: bentuk motif dan susunan
dari unsur-unsur pembentuknya, ukuran, material-bahan, warna, komposisi
jarak/skala dan proporsi masing-masing unsurnya.
Denotasi
primer kain batik tersebut yang dianggap sebagai tanda adalah fungsi objek
tersebut, dan sebagai denotasi sekundernya (konotasi) adalah pakem (konvensionalitas); struktur
bentuk dan cara pembuatan, keaslian, keakraban tema, keserasian dalam
pemakaian, suasana mengesankan, megah, anggun, wibawa dan lain sebagainya.
Pengamatan akan tanda-tanda tersebut akan menghubungkan tanda-tanda tersebut
dengan suatu ideologi dan membuat interpretasi secara luas. Namun interpretasi
tersebut terkadang terjadi berlawanan dengan ideologi diri sendiri, sehingga
bersifat subjektif. Dengan demikian resepsi semiotika
dapat menimbulkan cocok tidak cocok bagi seseorang dengan orang lainnya
tergantung pada apa yang dibangun oleh tema dan bentuk motif yang ditampilkan
itu telah ia tanam sebagai tanda-tanda.
Berkat hadirnya aneka ragam motif yang hanya bersifat
menghias secara visual, terbentuklah kekhasan motif batik. Adanya unsur lain
seperti makna simbolik dan atau makna filosofis dapat berfungsi sebagai unsur
tanda-tanda yang dapat diinterpretasikan berdasarkan kepentingannya.
Tanda-tanda tersebut seakan-akan menyampaikan pesan bahwa motif tersebut tidak
hanya diwujudkan berdasarkan fungsi dan kepentingannya, tetapi juga melalui
sentuhan-sentuhan spirit keindahan dan filosofis yang mendasari jiwa para
pembatiknya.
Berdasarkan uraian tersebut, maka dapat ditemukan tentang
apa yang menjadi permasalahan dalam batik berkait dengan tinjauan semiotik,
khususnya dalam hal yang berkaitan dengan wujud visual motif batik tradisional
Majalengka.
B.
Rumusan Masalah
Bagaimanakah
sistem-sistem tanda dan relasi tanda yang dibangun dalam suatu karya batik
tradisional dan adakah indikasi tanda yang mengarah pada sebuah ikon, indeks
dan simbol sesuai dengan teori Semiotik Charles de Pierce?
C.
Tujuan dan Manfaat Penelitian
Tujuan
dilakukan penelitian ini secara khusus adalah untuk mengetahui bagaimana makna
yang terdapat dalam motif batik Majalengka. Sedangkan tujuan secara umum adalah
untuk mengetahui bagaimana konsep-konsep semiotika diterapkan dalam bidang seni
dan kehidupan budaya masyarakat di Majalengka. Tulisan ini dipandang penting
dengan tujuan memperkaya khasanah keilmuan seni batik pada khususnya,
relevansinya dengan pengembangan pengetahuan struktur pada pemahaman aspek
kajian semiotik terhadap motif hias tradisional Batik Majalengka.
D.
Metode Penelitian dan Penulisan
Jenis
penelitian ini yaitu penelitian kualitatif. Penelitian kualitatif deskriptif
adalah pengumpulan data yang berupa kata-kata, gambar, dan bukan angka-angka(Moleong 11) . Fokus penelitian
pada motif batik Majalengka. Sumber data yang diperoleh dalam penelitian ini
yaitu hasil wawancara dengan informan yang mengetahui tentang motif batik
Majalengka, buku-buku, dan internet. Data dalam penelitian ini yaitu
dokumentasi berupa foto-foto. Teknik pengumpulan data menggunakan teknik
wawancara semiterstruktur dan analisis dokumen. Penelitian ini menggunakan
metode analisis semiotika untuk mengungkap makna yang ada dalam objek kajian
peneliti yaitu Batik Majalengka. Unit analisis yang akan diteliti adalah
arti/makna yang muncul dalam motif yang terdapat dalam batik-batik tersebut.
KERANGKA TEORI
Batik
Batik adalah kerajinan yang mengandung
filosofi, memiliki karakter dan nilai seni, serta menjadi bagian dari budaya
Indonesia sejak lama. Sebagai ikon budaya, batik merupakan local genius yang mengandung nilai
sejarah yang sangat tinggi (Atmojo 6) .
Batik adalah sejenis kain tertentu
yang dibuat khusus dengan motif-motif yang khas, yang langsung dikenali masyarakat
umum (Wulandari 23) . Batik merupakan
kerajinan yang memiliki nilai seni yang tinggi dan telah menjadi bagian dari
budaya Indonesia (khususnya Jawa) sejak lama.
Komponen Batik
Wulandari mengemukakan bahwa batik
memiliki dua komponen utama, yaitu warna dan garis(Wulandari 76) . Kedua komponen inilah yang membentuk
batik menjadi tampilan kain yang indah dan menawan.
1.
Garis
Wulandari mengemukakan garis adalah
suatu hasil goresan di atas permukaan benda atau bidang gambar(Wulandari 81) . Garis-garis inilah
yang menjadi panduan dalam penggambaran pola dalam membatik. Menurut bentuknya,
garis dapat dibedakan sebagai berikut:
a. Garis lurus (tegak lurus, horizontal
dan condong)
b. Garis lengkung
c. Garis putus-putus
d. Garis gelombang
e. Garis zig-zag
f.
Garis
imajinatif
Garis-garis inilah yang membentuk
corak dan motif batik sehingga menjadi gambar-gambar yang indah sesuai dengan
yang diharapkan. Tanpa garis-garis yang menjadi panduan ini, tidaklah mungkin
terbentuk pola-pola batik yang sesuai. Garis-garis tersebut akan dibentuk dan
dikreasikan sesuai dengan motif yang diinginkan.
2.
Warna
Warna merupakan media penyampai pesan,
sebagaimana bentuk dan tulisan. Secara naluriah, manusia menggunakan dan
mempersepsikan warna dengan suatu konsep. Dalam penyampaian pesan warna dapat
memperkuat nilai pesan yang ingin disampaikan melalui batik. Warna adalah
spektrum tertentu yang terdapat di dalam suatu cahaya sempurna (berwarna putih)(Wulandari 76) . Setiap warna mampu
memberikan kesan dan identitas tertentu sesuai kondisi sosial pengamatnya.
Masyarakat penganut warna memiliki pandangan dan pemikiran yang berbeda-beda
terhadap warna. Ini sangat dipengaruhi oleh kondisi lingkungan, pandangan
hidup, status sosial dan lain-lain. Pemikiran atau persepsi terhadap warna
sering pula dipengaruhi oleh kondisi emosional dan psikis seseorang.
Motif Batik
Motif batik adalah suatu dasar atau
pokok dari suatu pola gambar yang merupakan pangkal atau pusat suatu rancangan
gambar, sehingga makna dari tanda, simbol, atau lambang dibalik motif batik
tersebut dapat diungkap (Wulandari 113)
Menurut Susanto Sewan(Sewan 212) motif adalah
kerangka gambar yang mewujudkan batik secara keseluruhan. Motif batik disebut
juga corak batik atau pola batik. Motif batik dalam Kamus Bahasa Indonesia
diartikan suatu gambaran yang menjadi pokok. Dari pendapat diatas, penulis
menyimpulkan bahwa motif batik merupakan gambar hias yang terdapat pada sehelai
kain batik.
Semiotika
Semiotika berasal dari kata Yunani “Semion” atau tanda, kerap diartikan
sebagai ilmu tanda. Semiotik adalah ilmu tentang tanda-tanda. Studi tentang
tanda dan segala yang berhubungan dengannya, cara berfungsinya, hubungannya
dengan tanda-tanda lain, pengirimannya dan penerimaannya oleh mereka yang
menggunakannya.
Menurut Preminger, ilmu ini menganggap
bahwa fenomena sosial atau masyarakat dan kebudayaan itu merupakan tanda-tanda.
Semiotik mempelajari sistem-sistem, aturan-aturan, konvensi-konvensi yang
memungkinkan tanda-tanda tersebut mempunyai arti. Tradisi semiotika ini lebih
memusatkan perhatian pada lambang-lambang dan simbol-simbol, serta memandang
komunikasi sebagai suatu jembatan antara dunia pribadi individu-individu
(misalnya seniman, aktor, atau politikus) dengan ruang di mana lambang-lambang
digunakan oleh individu-individu untuk mengangkut makna-makna tertentu kepada
khalayak atau publik.
Model Charles Sanders Peirce
Studi mengenai tanda dan cara kerja
dari tanda-tanda tersebut dinamakan semiotika atau semiologi. Objek utama dalam
pendekatan ilmu ini adalah teks, yang tak hanya berbentuk teks tertulis, akan
tetapi dapat berupa gambar, pakaian, motif atau corak, lukisan dan lain
sebagainya.
Gambar sebagai suatu sistem tanda yang
merupakan bentuk fisik yang berbentuk serta mengacu pada apa yang akan
dirujuknya. Pendekatan semiotika bermula dari tiga elemen dasar yaitu tanda,
acuan tanda dan pengguna tanda.
Pierce mengemukakan teori segitiga
makna atau triangle meaning yang
terdiri dari 3 elemen utama, yakni tanda (sign), objek, dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang
berbentuk fisik yang dapat ditangkap oleh pancaindera manusia dan merupakan
sesuatu yang merujuk (mempresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri.
Tanda menurut Pierce terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan),
ikon (tanda yang muncul dari perwakilan fisik) dan indeks (tanda yang muncul
dari hubungan sebab-akibat). Sedangkan acuan tanda ini disebut objek. Objek
atau acuan tanda adalah konteks sosial yang menjadi referensi dari tanda atau
sesuatu yang dirujuk tanda.Interpretant atau pengguna tanda adalah konsep pemikiran
dari orang yang menggunakan tanda dan menurunkannya ke suatu makna tertentu
atau makna yang ada dalam benak seseorang tentang objek yang dirujuk suatu
tanda. Hal yang terpenting dalam proses semiosis adalah bagaimana makna muncul
dari sebuah tanda ketika tanda digunakan orang saat berkomunikasi.
Yang dikupas teori segitiga, maka
adalah persoalan bagaimana makna muncul dari sebuah tanda ketika tanda itu
digunakan orang pada waktu berkomunikasi. Hubungan antara tanda, objek dan
interpretan digambarkan Peirce sebagai berikut:
Hubungan Tanda, Objek, dan Interpretant (Triangle of Meaning)
Sign
Interpretant Object
Peirce membedakan tipe-tipe tanda menjadi: Ikon (Icon), Indeks (Indeks), dan Simbol (Symbol) yang didasarkan atas relasi
di antara representamen dan objeknya.
Ikon adalah tanda yang mengandung
kemiripan ‘rupa’ sehingga tanda itu mudah dikenali oleh pemakainya. Di dalam
ikon hubungan antara representamen dan objeknya terwujud sebagai kesamaan dalam
berbagai kualitas. Contohnya sebagian besar rambu lalu lintas merupakan tanda
yang ikonik karena ‘menggambarkan’ bentuk yang memiliki kesamaan dengan objek
sebenarnya.
Indeks adalah tanda yang memiliki
keterkaitan fenomenal atau eksistensial di antara representamen dan objeknya.
Di dalam indeks, hubungan antara tanda dengan objeknya bersifat kongkret,
aktual dan biasanya melalui suatu cara yang sekuensial atau kausal. Contoh
jejak telapak kaki di atas permukaan tanah, misalnya merupakan indeks dari
seseorang atau binatang telah lewat di sana, ketukan pintu merupakan indeks
dari kehadiran seorang ‘tamu’ di rumah kita.
Simbol, merupakan jenis tanda yang
bersifat arbiter dan konvensional sesuai kesepakatan atau konvensi sejumlah
orang atau masyarakat. Tanda-tanda kebahasaan pada umumnya adalah
simbol-simbol. Contohnya Garuda Pancasila bagi bangsa Indonesia adalah burung
yang memiliki latar budaya berbeda, seperti orang Eskimo, misalnya Garuda
Pancasila hanya dipandang sebagai burung elang biasa.
PEMBAHASAN
Ciri
khas pakaian bangsa Indonesia yakni batik telah mendapat pengakuan dunia
Internasional, kini batik tidak hanya dimiliki oleh Cirebon, Pekalongan, Solo,
dan Jogja, namun hampir semua kabupaten/kota di Indonesia termasuk di Jawa
Barat memiliki motif batik khas tersendiri seperti halnya Kabupaten Majalengka.
Kota kecil di timur Jawa
Barat; Majalengka-pun memiliki batik tersendiri. Meski belum seterkenal
tetangganya yakni batik trusmi Cirebon, batik Majalengka memiliki keunikan
tersendiri sesuai dengan kekhasan jatidiri dan asli menggambarkan ciri
Kabupaten Majalengka. Batik Majalengka ini dipelopori oleh Hery Soeharsono.
Dalam mendesain batik khas Majalengka, Hery tak luput memasukkan
kekhasan-kekhasan dari kota Majalengka. Secara umum batik Majalengka memiliki
lima motif utama, yaitu Kota Angin, Lauk Ngibing, Gedong Gincu, Nyi Rambut
Kasih, dan Simbar Kencana.
Makna-makna
Semiotika Batik Majalengka
Berdasarkan teori segitiga makna (triangle
meaning) yang dikemukakan oleh Pierce, bahwa ada tiga elemen utama dalam
makna, yakni tanda (sign), objek,
dan interpretant. Tanda adalah sesuatu yang berbentuk fisik yang dapat
ditangkap oleh panca indera manusia dan merupakan sesuatu yang merujuk
(mempresentasikan) hal lain di luar tanda itu sendiri. Tanda menurut Pierce
terdiri dari simbol (tanda yang muncul dari kesepakatan), ikon (tanda yang
muncul dari perwakilan fisik), dan indeks (tanda yang muncul dari hubungan
sebab-akibat).
Pada setiap motif batik Majalengka
menonjolkan kekhasan dan ciri jatidiri kabupaten Majalengka terinspirasi pada
keadaan alam seperti hewan dan tumbuhan, artefak-artefak sejarah, kultur,
potensi daerah, serta cerita rakyat ataupun legenda yang hidup di kalangan
masyarakat Majalengka. Semua hal itu tertuang dalam motif batik yang
menggambarkan budaya lokal Majalengka.
Dalam batik khas Majalengka tanda yang paling
menonjol dalam menggambarkan karakter kabupaten Majalengka ditunjukkan melalui
gambar kujang, mahkota, dan buah maja. Dengan menggunakan lambang kujang
penggambaran kabupaten Majalengka terlihat jelas. Hal ini dikarenakan kujang
menjadi ciri bahwa kabupaten Majalengka berada di tanah Pasundan. Kujang
merupakan lambang dari kerajaan Padjajaran serta merupakan senjata tradisional
Jawa Barat. Pada waktu itu kerajaan Sindangkasih memiliki hubungan erat dengan
kerajaan Padjajaran, dimana putra mahkota kerajaan Padjajaran mempersunting
putri dari kerajaan Sindangkasih. Mahkota sendiri merupakan mahkota Simbar
Kencana yang dikenakan ratu dari kerajaan Sindangkasih yang bernama Ratu Simbar
Kencana. Sementara buah Maja merupakan salah satu buah yang menjadi kekhasan
kerajaan Sindangkasih, buahnya berbentuk bulat berwarna oranye seperti buah
mangga yang sekarang dijadikan sebagai nama Kabupaten Majalengka.
Analisis semiotik pada batik Majalengka
memiliki tanda yang mengacu pada ikon, indeks dan simbol. Tanda pada batik
Majalengka adalah ragam hias atau corak batik yang khas dan bersifat
kontemporer. Ragam hias tersebut merupakan perpaduan, kreatifitas dan ide
pengembangan motif dari Bapak Herry antara motif/ragam hias gaya Cirebon dan
Sunda/Jawa Barat. Ikon batik Majalengka mengacu pada jenis kain yang akan
melalui proses pembatikan, berupa kain sutra, kain primisima, kain primis.
Tidak ada pembeda kelas sosial mengenai jenis kain batik yang dipakai, semuanya
sama rata. Begitupun dengan motif batik yang dipakai, tidak ada pembeda kelas
sosial, semua orang boleh menggunakan motif batik Majalengka yakni motif Kota
Angin, motif Lauk Ngibing, motif Gedong Gincu, motif Nyi Rambut Kasih, dan
motif Simbar Kencana. Selain itu, ikon mengacu pada fungsi kain batik. Penggunaan batik
sebagai busana tradisional semakin berkurang, terutama di kalangan generasi
muda. Makna simbolik yang ada pada ragam hias batik tradisional juga makin
kurang dikenal. Akan tetapi, dengan berbagai kreasi dan inovasi pada motif
batik Majalengka, kini batik telah menjadi pakaian umum. Motif dan desainnya
pun semakin berkembang pesat sehingga generasi muda merasa nyaman dan senang
menggunakan busana batik. Banyak desainer muda di kabupaten Majalengka yang
memulai kiprah desain bajunya dengan mengambil batik sebagai inspirasi
pembuatan desain baju. Kreatifitas para desainer muda ini banyak melahirkan
beragam desain baju batik yang sangat elegan dan memenuhi tuntutan gaya hidup
modern.
Busana
atau pakaian merupakan ekspresi dari identitas seseorang karena saat kita
memilih pakaian, baik di toko atau di rumah, berarti kita mendefinisikan dan
mendeskripsikan diri sendiri. Arti penting berpakaian sebagai suatu ekspresi
dari identitas social, asal usul, komitmen dan kesetiaan individu, tidaklah
mengherankan bahwa orang-orang seharusnya memandang pakaian hampir seperti
perpanjangan diri mereka sendiri. Singkatnya, sekarang dapat kita mengerti
mengapa hubungan seseorang dengan pakaiannya bersifat langsung dan lebih akrab
daripada hubungannya dengan semua objek materi yang lain. Mari S. Condronegoro
menyatakan bahwa berbagai symbol yang tercermin dari pakaian merupakan alat
komunikasi yang memberikan arti bagi masing-masing pribadi. Dengan demikian,
dapat kita katakan bahwa pakaian memberikan penggambaran bagi pemakainya.
Pakaian menunjukkan indentitas pemakainya. Demikian pula dengan motif batik di
Majalengka.
Yang termasuk indeks batik Majalengka tertuju
pada warna yang muncul, umumnya sangat beragam dan menggunakan warna-warna yang
cerah, seperti merah, hijau, biru,dan percampuran antara warna dasar, dan
akhirnya menghasilkan warna kontemporer atau warna yang digemari oleh konsumen.
Proses pewarnaan menggunakan pewarna tekstil. Begitu juga dengan teknik
pencelupan dalam pewarnaan yang dikenal dengan “buka tutup” dan ditutup dengan
lilin dikembangkan demi pengembangan motif atau ragam hias yang sangat beraneka
dan lentur dalam menghadapi tantangan zaman.
Warna
merah pada motif Simbar Kencana dan motif Gedong Gincu diartikan sebagai warna
yang dapat menarik perhatian karena warna merah mempunyai nilai dan kekuatan
warna yang paling kuat sehingga dapat memberikan daya tarik yang sangat kuat
untuk menarik perhatian orang yang melihatnya. Warna ini juga disenangi banyak
orang terutama oleh anak-anak dan wanita. Selain, dapat menarik perhatian warna
merah juga dilambangkan sebagai warna kegembiraan dan keberanian. Warna biru
pada motif Kota Angin dan motif Nyi Rambut Kasih diartikan sebagai rasa
ketenangan, kelembutan, keikhlasan dan rasa kesetiaan biasanya dapat
ditunjukkan melalui pemakaian warna ini. Warna hijau pada motif Lauk
Ngibing diartikan sebagai rasa kedamaian dan kesuburan.
Yang termasuk simbol dalam batik khas
Majalengka adalah sebagai berikut.
Motif Kota Angin
Motif Kota Angin bersumber dari julukan Majalengka sebagai Kota Angin,
karena angin kencang yang selalu berhembus di kota ini sepanjang tahunnya.
Motif Kota Angin, nampak lebih gagah dan maskulin.
Motif Lauk
Ngibing
Motif Lauk Ngibing mengandung arti lauk itu ikan dan ngibing itu menari,
dalam bahasa Sunda berarti ikan menari. Motif ini menunjukkan jika warga
Majalengka senang memelihara ikan di balong atau empang.
Motif Gedong
Gincu
Motif Mangga Gedong Gincu diambil dari banyaknya pohon mangga gincu yang
hampir ditemui di tiap halaman rumah warga Majalengka. Itulah mengapa Gedong
Gincu juga dinamakan menjadi salah motif batik khas Majalengka.
Motif Nyi
Rambut Kasih
Nyi
Rambut Kasih adalah salah satu tokoh sejarah cerita rakyat di Kabupaten
Majalengka. Pada batik motif Nyi Rambut Kasih melambangkan keuletan, kesabaran
dan kesadaran masyarakat dan pemerintah Majalengka, dalam bahu-membahu
bersama-sama untuk membangun daerah, dengan landasan hati tulus – iklas, penuh
dengan rasa tanggung jawab, didukung dengan rasa solidaritas yang tinggi,
rasa cinta kasih yang dalam, selaras dan berkesinambungan (tanpa diskriminasi
serta interversi). Digambarkan dengan motif; seorang wanita berparas cantik,
tegar dan segar, dengan rambut panjang yang menjalar ke berbagai arah, dihiasi
oleh taburan bunga melati dengan disisipkan 3 (tiga) simbol daun cinta.
Motif
Simbar Kencana
Simbar Kencana merupakan cerita rakyat di
kabupaten Majalengka, tepatnya berasal dari Kecamatan Talaga atau dulunya
dikenal sebagai Kerajaan Talaga Manggung. Simbar Kencana merupakan nama Ratu
yang memimpin kerajaan Talaga Manggung atau Sindangkasih.
Sesuai dengan konsep ikon pada trikotomi Pierce,
kesesuaian bentuk dan nama yang digunakan dapat dilihat langsung (secara
visual).
SIMPULAN
Berdasarkan hasil analisis
dengan pendekatan semiotika terhadap tanda-tanda dalam batik khas Majalengka,
maka dapat ditarik keseimpulan sebagai berikut:
Tanda-tanda
dalam motif batik Majalengka merupakan sejumlah tanda yang mengandung unsur relationship
sebagai konsep cerita dalam Batik Majalengka, dimana konsep tersebut
menggambarkan karakter kabupaten Majalengka. Melalui konsep yang saling
berhubungan tersebut karakter kabupaten Majalengka terlihat sangat menarik,
dengan penggunaan beberapa ikon dari kabupaten Majalengka yaitu, kujang,
mahkota, dan buah maja. Batik Majalengka secara keseluruhan telah menunjukkan
karakter dan jati diri kabupaten Majalengka. Dengan mengemas beberapa motif
yang diambil dari ikon kota maupun ikon budaya kabupaten Majalengka secara
berkesinambungan menghasilkan sebuah batik daerah yang dapat menjadi salah satu
ikon budaya maupun identitas kabupaten Majalengka itu sendiri.
DAFTAR PUSTAKA
Atmojo, Heriyanto. Batik Tulis Tradisional Kauman, Solo, Pesona Budaya Nan Eksotik. Solo: Tiga Serangkai, 2008.
Moleong, Lexy J. Metodologi Penelitian Kualitatif.
Bandung: PT. Remaja Rosda Karya Ofset, 2011.
Musman, Ambar B. Batik Warisan Adiluhung Nusantara.
Yogyakarta: G-Media, 2011.
Sewan, Susanto S. Seni Kerajinan Batik Indonesia. Yogyakarta: Balai Penelitian Batik dan Kerajinan, 1980.
Wahyu, A. Chick in Batik. Jakarta: Erlangga, 2012.
Wulandari, Ari. Batik
Nusantara Makna Filosofis, Cara Pembuatan, dan Industri Batik.
Yogyakarta: CV. Andi Offset, 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar